Rabu, 23 Februari 2011

Nama : Delly Pratama
NPM : 10208320
Kelas : 3EA12

APA ARTI NEOLIBERALISME ???


Neoliberalisme adalah kata lain dari “liberalisme baru”. Neoliberalisme merupakan pendukung pasar bebas (free trade), ekspansi modal dan globalisasi.[4] Yang mencemaskan dari neoliberalisme adalah gebrakan mereka agar negara mengurangi secara signifikan campur tangannya (deregulasi dan debirokratisasi) dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Aktivitas ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar, karena pasar mengajarkan orang untuk berpikir rasional dengan menggunakan kalkulasi untung-rugi.[5] Di sinilah terjadi bahwa neoliberalisme merupakan rahmat bagi kaum kaya dan petaka bagi yang miskin. Kita tahu, tidak mungkin kaum miskin mampu menandingi kaum kaya dalam arena persaingan. Kaum miskin sudah pasti pihak yang kalah dan kaum kaya sudah pasti pihak yang menang. Tidak terjadi persaingan, yang terjadi adalah pengeliminasian kaum miskin.
Bagi pelaku neoliberalisme, yang tidak mampu bersaing secara bebas di lapangan pasar, maka harus merelakan diri untuk digusur dari ajang kompetisi. Akibat fatalnya, perekonomian akan dikuasai oleh mereka yang mampu berperilaku efisien, inovatif, memiliki akses teknologi dan modal, dan mampu berperan sebagai penentu harga. Sementara orang miskin hanya gigit jari, mereka siap-siap semakin miskin. Orang miskin hanya sebagai penonton, pemanggul petaka, buruh murahan, manusia terbuang, outcast! Itu sebabnya bagi Bob Sugeng Hadiwinata dengan merujuk pada gagasan Bourdieu, neoliberalisme melanggar prinsip keadilan (fairness). Bob mengusulkan sistem perekonomian yang lebih baik, yakni perdangan yang adil (fair trade). Dalam arti, para pelaku pasar tidak hanya memperhatikan keuntungannya tetapi juga peka melihat situasi sosial, mereka perlu memperhatikan negara berkembang dan kaum miskin, kaum buruh, kaum marginal. Yang lebih penting bukan gagasan ‘free trade’ tetapi ‘fair trade’. [6]
Mekanisme pasar yang ditawarkan kaum neoliberalisme melanggar prinsip keadilan dari John Rawls. Bagi Rawls, dalam kegiatan sosial-ekonomi mesti diperhatikan pula kesejahteraan mereka yang mendapat keuntungan paling sedikit (“the least-advantaged members of society”). Ketika membuka kesempatan yang sama kepada anggota masyarakat untuk bersaing di pasar, pelaku ekonomi mestinya memperhatikan siapa yang sudah pasti kalah bersaing. Orang tak punya modal pastilah kalah dalam arena persaingan pasar. Di sini tidak terjadi fairness (keadilan). Fairnesshanya terjadi jika memperhatikan kaum tak bermodal itu. Bagi Rawls mesti ada prinsip “fair equality of opportunity” . [7]
B. Herry Priyono melihat secara lain neoliberalisme. Ia memilah-milah, tidak memandang semua kegiatan ekonomi pasar menerapkan prinsip neoliberalime. Menurutnya istilah neoliberalisme sering disalah-artikan. Misalnya, ada sebagian yang menganggap bahwa ekonomi pasar identik dengan neoliberalisme. Bagi B. Herry Priyono, neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi pasar, tetapi tidak semua ekonomi pasar bersifat neoliberal. Ekonomi pasar sosial tidak selalu bersifat neoliberal.[8]
Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk pada gejala yang mirip dengan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, yang terjadi dalam 30 tahun terakhir tersebut (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) bercorak lebih ekstrem dan gejala ini berlangsung dengan berakhirnya era besar yang disebut embedded lberalism. Embedded liberalisme merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga dekade 1970-an yang intinya: kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara penanam modal dan tenaga kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasilabour pada capital.[9] Dengan kata lain, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja pemodal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Neoliberalisme kadangkala dianggap sebagai cara para tuan besar pemodal untuk merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode setelah Perang Dunia II sampai dasawarsa 1970-an.
Neoliberalisme merupakan sebuah fenomena sosial-politik yang biasanya dialamatkan kepada sekelompok penguasa dan intelektual di Barat yang mendukung dan ingin menghidupkan kembali gagasan-gagasan liberalisme klasik. Intelektual yang mau menghidupkan kembali liberalisme klasik (tetapi dengan cara “mencampur”) adalah ekonom Inggris (abad 20), John Maynard Keynes, yang kemudian teorinya disebut Keynesian. Teori ekonomi a la Keynesian adalah mempromosikan suatu ekonomi campuran, yakni baik negara (pemerintah) maupun sektor swasta memegang peranan penting dalam kegiatan ekonomi. Padahal, kaum neoliberalisme anti-pemerintah, antinegara, anti aturan. Tetapi ada yang mesti diperhatikan di sini: REAGANOMICS dan Thatcherisme juga sebenarnya beralirasn leberalisme klasik, tetapi toh tidak dianggap sebagai ancaman neoliberalisme. Malahan kedua paham ini dianggap sebagai salah satu tulang punggung munculnya neoliberalisme, karena memang kedua paham ini anti-negara, anti-pemerintah. Itulah sebabya juga B. Herry Priyono agak kesulitan mendefenisikan apa itu neoliberalisme. [10] Dalam tulisan ini, kita sepakat saja bahwa ciri utama neoliberalisme adalah peniadaan campur tangan pemerintah dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian, regulasi perekonomian diserahkan kepada otoritas pasar bebas. Akibatnya, legislator bukan lagi lembaga legislatif melainkan para pemilik modal.
Dalam penelusuran Bob Sugeng Hadiwinata, neoliberalisme sejatinya dikampanyekan secara gencar oleh negara-negara Barat dan berbagai lembaga ekonomi dan keuangan internasional sejak akhir Perang Dunia II. Kampanye gombal mereka berhasil: neoliberalisme menjadi norma dasar perekonomian.[11]
Latar Belakang Munculnya Neoliberalisme [12]
Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme”. Padahal bisa jadi hal ini hanya salah satu faktor saja. Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti “reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur.[13] Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global di IMF dan World Bank (WB), dan WTO. Banyak yang menduga bahwa IMF, World Bank dan WTO adalah pendukung neoliberalisme. Kedua lembaga ini merupakan penyebab suburnya neoliberalisme. Lembaga-lembaga ini memiliki kesempatan besar untuk memaksa negara-negara berkembang (miskin) untuk mengambil dan menjalankan kebijakan neoliberalisme dalam tataran pasar bebas dengan istilah kren demi “structural adjustment” (penyesuaian struktural). Ujung-ujungnya adalah banyak negara berkembang yang justru semakin banyak hutangnya.
Pada tahun 1975-80an, di AS, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul “Anarchy, State, and Utopia”, yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah: REAGANOMICS; dan di Inggris, Keith Joseph menjadi penggagas “Thatcherisme”.[14]
Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran John Locke[15], sedangkan Thatcherisme dikaitkan dengan pemikiran liberal John S. Mill dan A. Smith. Walaupun Locke dan Mill serta Smith sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya tetap bermuara pada intervensi negara harus berkurang sehingga individu lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang kemudian di sebut: NEOLIBERALISME.
Paham ekonomi neoliberal ini, di kemudian hari dikembangkan oleh Milton Friedman. Menurut Milton Friedman, prinsip utama bisnis ekonomi adalah mencari keuntungan. Menurutnya, tugas dari pebisnis adalah mencari uang/keuntungan (“the business/task of businessman is business/making money”). Hanya dengan cara ini, suatu perusahaan akan bertahan dan bisa menghidupi para karyawannya serta CEO-nya. Tetapi, gagasan ini, kemudian banyak ditentang, karena bisnis tidak semata-mata hanya mencari keuntungan tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial: memelihara sumber daya alam dan juga memperhatikan lingkungan sosial bisnis, serta ikut andil mengentaskan pengangguran serta kemiskinan.
Visi Neoliberalisme
Walaupun neoliberalisme selalu dikaitkan dengan ekonomi, namun sebenarnya neoliberalisme bukan hanya sekedar ekonomi. Neoliberalisme bervisi tentang manusia dan masyarakat dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Visi neoliberalisme tersebut dapat kita lihat dalam uraian berikut: Neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia: menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Hal itu secara eksplisit diungkapkan Gary Becker dalam karyanya yang berjudul “The Economic Approach to Human Behavior (1976): pendekatan ekonomi menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia.
Kedua, virtualisasi Ekonomi
Awal tahun 1980-an terjadi evolusi berpikir: perspektif oeconomicus tidak hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi hidup manusia, tetapi dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarkhi prioritas: sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dsb. Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam ekonomi dengan prioritas yang pertama. Jadi, proses ekonomi bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.
Gagasan Filosofis (Konsep) Neoliberalisme
Pertama, menginginkan sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad ke-19
Kapitalisme abad ke-19 menghargai kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam urusan kehidupan ekonomi. Yang menjadi penentu utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar bukan pemerintah.[17] Gagasan ini barangkali masih dipengaruhi oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum liberal adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun. Pada zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai seseorang yang memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil campur tangan pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan sendiri.[18]
Kedua, mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas: pasar yang berkuasa
Untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas, kaum neoliberalisme selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping. Menurut kaum neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah.[19]
Ketiga, menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik
Gagasan ini terfokus pada metode pasar bebas, pembatasan campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Gagasan ini sebenarnya tidak sehat. Kaum kaya semakin kaya dan kaum miskin semakin miskin. Seharusnya yang lebih penting adalah keadilan perdagangan (fair trade) bukan perdagangan bebas (free trade).[20]
Keempat, memangkas anggaran publik untuk layanan sosial
Kurangi anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah. Seandainya hal ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang. Kelima, deregulasi: hambatan dan hukum perdagangan harus dihapus. Keenam, privatisasi: aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab bersama dan menggantikannya dengan “kewajiban individu”.[21]
Dampak neoliberalisme [23]
Pertama, Industri lokal akan mati. Hambatan perdagangan dibuat dengan tujuan antara lain untuk melindungi industri dan tenaga kerja lokal. Dengan ditiadakannya hambatan perdagangan (deregulasi), maka harga produk dan jasa dari luar negeri akan menurun dan permintaan untuk produk dan jasa lokal akan berkurang. Hal ini mengakibatkan matinya industri lokal perlahan-lahan.
Kedua, Pekerja (karyawan) tidak mendapat perlindungan dari negara. Dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur tangan dalam penentuan gaji para pekerja (karyawan). Menurut kaum neoliberal, hal ini merupakan urusan antara pengusaha pemilik modal dan para pekerja (karyawan). Apa akibat dari kebijakan semacam ini? Akibatnya adalah hak-hak pekerja tidak lagi mendapatkan perlindungan dari negara. Pengaturan upah, misalnya, sepenuhnya menjadi kewenangan pengusaha. Masalahnya, apakah pengusaha tidak menindas atau memberi gaji yang layak para pekerja?
Ketiga, Privatisasi aktivitas ekonomi . Privatisasi (istilah lain: denasionalisasi, swastanisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi atau dari milik negara menjadi milik swasta . Dalam arti aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta. Secara teori, privatisasi aktivitas ekonomi, membantu terbentuknya pasar bebas (neoliberalisme), mengembangkan kompetisi kapitalis (padahal yang lebih penting adalah coopetetition dan fair trade), yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga lebih kompetitif kepada publik. Tetapi teori semacam ini berakibat negatif, karena layanan publik diberikan ke sektor privat (swasta) yang justru akan menghilangkan kontrol publik dan pemerintah sehingga mengakibatkan kualitas layanan yang buruk.
Keempat, Konsumen tak terlindungi dari produk-produk yang tak layak dikonsumsi. Contoh: produk-produk yang telah diubah secara genetika.Bisa terjadi pemalsuan produk. Kelima, Bergesernya manajemen ekonomi. Ekonomi berbasis persediaan menjadi berbasis permintaan. Artinya negara berkembang yang tadinya kaya akan SDM, sekarang malah menjadi tidak menikmati SDM tersebut karena telah “dirampas dan dikuasai”oleh pemodal. Negara berkembang menjadi negara pengemis atas hasil tanahnya sendiri. Perekonomian dengan inflasi dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah; karena bagi neoliberalisme, penganggur adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan.
Keenam, Masalah ekonomi adalah soal “komoditi”. Kaum neoliberalisme melihat bahwa seluruh kehidupan adalah sumber laba korporasi perusahaan. Contoh: air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Jadi, dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas semata.
Ketujuh, Semua pemikiran di luar rel pasar dianggap salah. Salah satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, sehingga pada titik tertentu tidak lagi mempunyai makna selain apa yang dilakukan oleh pasar dan pengusaha. Bagi kaum neoliberalisme, politik adalah keputusan-keptusan yang menawarkan nilai-nilai dan hanya satu cara yang rasional untuk mengukur nilai yakni pasar. Selain itu, wilayah politik dianggap sebagai tempat pasar berkuasa dan konsep globalisasi (perdagangan bebas) dijadikan cara untuk perluasan pasar melaui WTO, sehingga neoliberalisme yang “kapitalisme” dianggap sebagai neo-imperialisme. Kedelapan, Semakin lebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar